Pameran Beyond The Shapes, Bersatunya Perupa Iryanto dan RB Ali

BANTEN72 – Iryanto dan RB Ali merupakan dua perupa yang tak asing dalam kancah senirupa kontemporer saat ini. Dua perupa ini sudah sering berpameran baik tunggal maupun bersama. Dari tanggal 9-30 Mei 2025, dua perupa ini akan berpameran di Institut Francis Indonesia (IFI) Jl.  Wijaya 1, No. 48 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan dengan kurator Hilmi Faiq.

Dalam kuratorialnya Hilmi Faiq, mengatakan, pada lanskap seni kontemporer Indonesia, dua nama muncul dengan resonansi yang dalam namun berbeda: Iryanto dan RB Ali. Meski menempuh jalur artistik yang unik, keduanya terhubung dalam satu benang merah: upaya melampaui bentuk (beyond the shapes). Dalam karya-karya mereka, seni tidak lagi bicara tentang apa yang tampak, tetapi tentang apa yang terasa, apa yang dirasakan namun tak dapat diucapkan—sebuah seni yang berangkat dari dalam jiwa, menembus permukaan, dan hadir sebagai bentuk-bentuk baru yang merangkum luka, harapan, dan spiritualitas.

Iryanto menciptakan dunia dari resin dan warna, memadukan figur nyata dengan latar abstrak yang penuh getaran. Ia tidak membatasi diri dalam satu gaya; justru menolak kaidah, menabrak pakem, dan menciptakan ruang visual yang mengapung antara realitas dan mimpi. Astronot yang melayang, ikan di bawah laut, naga mitologis—semuanya adalah simbol dari keresahan batin terhadap alam, eksistensi, dan kerinduan akan dunia yang belum ada. Resin menjadi lebih dari sekadar medium; ia adalah ruang meditasi, tempat warna mengendap dan cahaya bermain, menghadirkan sensasi spiritual tanpa narasi verbal. Di tangan Iryanto, bentuk menjadi pintu menuju yang transenden.

Baca juga:  Mau Tahu! Cara Memasak Nasi Agar Pulen Meski Pakai Beras Murah

RB Ali pun bergerak dalam arah serupa, namun dengan bahasa simbolik yang lebih intim dan terapeutik. Ia tidak hanya melukis, tapi menyusun lapisan-lapisan bawah sadar, mengolah luka personal menjadi lanskap emosional yang penuh warna. Warna merah mendominasi sebagai penanda gairah, kehilangan, dan transendensi. Dalam karya-karyanya, kita temukan simbol-simbol seperti mahkota, tangga, rahim, sayap patah, hingga kursi kosong—semuanya berbicara dalam bahasa psikoanalitik tentang cinta yang tak selesai, trauma yang berulang, dan jiwa yang mendamba pemulihan.

Sementara RB Ali, dalam catatan pamerannya yang untuk kesekalian kalinya mengatakan, saya percaya bahwa seni adalah cermin jiwa. Di setiap goresan dan warna, ada jejak kegelisahan, harapan, dan perasaan yang tak bisa diucapkan. Perjalanan saya dalam dunia seni bukanlah sesuatu yang direncanakan sejak awal. Ia tumbuh dari pengalaman hidup yang penuh gejolak—jatuh cinta, patah hati, kegagalan, hingga merangkul kehilangan begitu dalam.

Baca juga:  Mimpi Melihat Diri Sendiri, Pertanda Apa? Simak Penjelasannya Menurut Para Ahli

Bagi saya, seni adalah bentuk katarsis. Saat hati porak poranda, saya tidak pergi menyepi, melainkan menuangkannya di kanvas atau lewat puisi. Dari kehancuran itu lahir kekuatan baru: karya. Lukisan seperti “Pohon Cinta” lahir dari kerinduan akan cinta yang utuh dan ingin saya pelihara seumur hidup. Saya bahkan pernah menjadikan puisi sebagai mas kawin—karena cinta, bagi saya, harus menjadi kekuatan penciptaan.

Saya tidak memisahkan kehidupan pribadi dengan karya. Justru saya membiarkan keduanya menyatu, karena seni yang jujur hanya bisa lahir dari pengalaman yang otentik. Proses berkarya bagi saya adalah pengendapan: membiarkan perasaan larut, lalu hadir sebagai karya yang matang. Mungkin karena itu, karya-karya saya terlihat “ngambang”—tapi di situlah maknanya, di dalam pencarian dan kegelisahan yang tak kunjung usai.

Sedang Iryanto menyebut dirinya sejak muda, memiliki ketertarikan mendalam terhadap seni rupa, khususnya lukisan. Pengalaman pertama yang mengesankan adalah saat ia bertemu Antonio Blanco di Bali, sekitar tahun 1982. Antonio Blanco menawarkan lukisan. Meski harus mengorbankan banyak hal, ia membelinya karena cintanya terhadap seni. Kini lukisan itu nilainya ratusan kali lipat, menjadi simbol awal perjalanan ia di dunia seni.

Baca juga:  Inilah 6 Manfaat Puasa Di Bulan Ramadan Untuk Kesehatan Tubuh Secara Ilmiah

“Kecintaan saya berkembang menjadi hasrat mengoleksi karya seniman seperti Adam Lay, Ali RB, dan Hudi Alfa. Dari kolektor, saya berkembang menjadi dealer, membeli dan menjual karya dengan cara yang menguntungkan namun tetap menyenangkan. Relasi saya dengan para pelukis makin dalam, bahkan saya sering memberikan masukan yang ternyata diapresiasi tinggi. Adam Lay suatu hari menyatakan bahwa saya seharusnya mulai melukis sendiri,” ujarnya.

Ia menambahkan, dorongan itu menjadi titik balik. Sejak tahun 2010 saya mulai serius melukis, awalnya menyelesaikan karya yang belum jadi dari seniman lain. Ternyata, hasil sentuhan akhir saya dihargai tinggi oleh para seniman. Hal itu membangkitkan kepercayaan diri saya untuk menciptakan karya orisinal. Saya kemudian banyak belajar dari beberapa pelukis senior, sambil tetap menjaga pendekatan bebas dan ekspresif yang menjadi ciri khas saya.

“Saya senang bereksperimen dengan gaya dan media. Salah satu eksplorasi saya yang menonjol adalah penggunaan resin, menciptakan efek tiga dimensi yang memperkuat visual dan pesan karya saya. Tapi bagi saya, seni bukan hanya tentang teknik atau bisnis—melainkan ekspresi jiwa dan sarana berbagi,” pungkasnya.*

Komentar