BANTEN72- Jaksa Agung ST Burhanuddin melakukan diskusi interaktif dengan Tim Media Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, di Kantor Kejagung, Jakarta, 01 Mei 2023.
Diskusi itu mengangkat topik mengenai penegakan hukum humanis dengan tagline “Tajam ke atas, Humanis ke Bawah”. Sebab sejatinya, bila berbicara mengenai penegakan hukum humanis, maka berbicara tentang kemanusiaan.
Jaksa Agung ST Burhanuddin menjelaskan, bahwa kemanusiaan sudah diatur sejak zaman Hindia Belanda yakni dimana sejak bayi dalam kandungan sudah mengenal hak untuk hidup dan waris, sebagaimana diuraikan dalam Pasal 2 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie diatur dalam Staatblad 1847 No. 23.
Menurut Burhanuddin, dalam Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999, sebagaimana pada Pasal 53, diatur juga mengenai hak hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf hidup, terlebih lagi diperkuat dalam konstitusi negara kita yakni dalam Undang-Undang Dasar RI 1945 Pasal 28A.
“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya,”kata Burhanuddin.
Hal ini menunjukkan bagaimana hak-hak kemanusiaan sebagai hak dasar manusia sangat dijamin dan dilindungi oleh negara. Maka dari itu, sebelum berbicara hukum terlalu jauh, harus memahami dahulu konteks kemanusiaannya.
Baca Juga:
- Menciptakan Pemerataan Ekonomi di Indonesia
- Turun Langsung ke Masyarakat, Camat Sidangresmi Sosialisasikan Penyusunan Program KPM Bansos
- Sebagai Tindak Lanjut Program Asta Cita, Pemerintah Komitmen Memberantas Narkoba
- Camat Sindangresmi Gelar Program Dakwah Stunting, Muklis: Terapkan Prilaku Hidup Sehat
- Tekad Besar Pemerintah Memerangi Judi Online
Dalam konteks kemasyarakatan dan kemanusiaan, ada adagium yang sangat populer dalam penegakan hukum yaitu ‘Salus Populi Suprema Lex Esto’ yakni keselamatan manusia adalah hukum tertinggi. Pandangan-pandangan diataslah melahirkan bagaimana hukum tidak bisa dipisahkan dengan kemanusiaan yang sering kita sebut sebagai penegakan hukum humanis.
Burhanuddin menyampaikan, didalam falsafah hukum dijelasakan hukum ada untuk manusia, bukan untuk diputarbalikkan atau manusia untuk hukum. Hal ini berarti penegakan hukum dapat menjamin nilai-nilai yang sudah digali oleh pendiri bangsa yaitu Nilai Ketuhanan, Nilai Kemanusiaan, Nilai Persatuan, Nilai Kedaulatan Rakyat, dan Nilai Keadilan Sosial.
Lalu seiring berkembangnya waktu, adanya penambahan nilai yakni Nilai Kepastian Hukum dan Nilai Kemanfaatan. Sistem nilai yang berubah dan berkembang ini membuat hukum tak boleh kaku dan hanya mengejar satu nilai saja seperti Nilai Kepastian Hukum atau Nilai Keadilan. Hukum harus mampu beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat yaitu nilai kemanusiaan yang disebut dengan humanistik.
Jaksa Agung juga menyampaikan dimana adanya mazhab hukum yang selama ini dipelajari dalam dunia perkuliahan seperti hukum progresif (digagas oleh Prof. Satjipto Rahardjo).
“Karena hukum hidup dan beradaptasi dengan kebutuhan hukum masyarakat dan di masa mendatang. Hukum modern saat ini juga tidak terlepas dari nilai kemanusiaan yang ada. Oleh karenanya, penegakan hukum yang humanis adalah penegakan hukum yang mampu menggali rasa keadilan dalam masyarakat (living law),”ungkapnya.
“Meski demikian, hukum positif tidak dapat ditinggalkan dan justru tetap sebagai penguatan menjamin kepastian serta menjadi bukti hadirnya negara di tengah masyarakat karena memiliki perangkat, sarana, prosedur (tata laksana), dan bersifat mengikat bahkan memiliki sanksi,”sambungnya.
Jaksa Agung juga selalu berpesan bahwa kehadiran Jaksa tidak sekedar hanya sebagai pelaksana atau cerobong undang-undang saja, namun Jaksa harus berani mengambil sikap sebagai dinamisator dan katalisator.
“Penegakan hukum humanis harus beradaptasi dengan kebutuhan hukum saat ini, tidak pandang bulu, serta dapat diterima oleh masyarakat. Maka untuk mendukung itu semua, perlu adanya program penegakan hukum yang berpihak pada masyarakat,”ujarnya.
Jaksa Agung mengatakan bahwa program penegakan humanis yang sudah ada saat ini seperti penghentian penuntutan melalui keadilan restoratif, pendirian Rumah Restorative Justice dan Balai Rehabilitasi, Program Jaga Desa (Jaksa Garda Desa), serta Jaksa Menjawab, harus diefektifkan dan dikembangkan dalam pelaksanaannya di tengah masyarakat.
Jaksa Agung juga menekankan bahwa seorang Jaksa harus turut hadir dan memberi manfaat, serta juga menjadi solusi di setiap permasalahan hukum yang ada ditengah tengah masyarakat.
Dengan adanya program penegakan hukum yang humanis tersebut menunjukkan bahwa program-program dibuat dengan kajian untuk kepentingan masyarakat yang nantinya bermanfaat dalam menciptakan keharmonisan dan kedamaian.
“Apabila kesadaran hukum masyarakat telah terbentuk, maka secara otomatis akan meringankan pekerjaan penegakan hukum di masa mendatang. Bahkan di beberapa negara maju dan aman, lembaga pemasyarakatannya dalam keadaan kosong yang menandakan bahwa penegakan hukum di negara tersebut berjalan dengan baik. Sebaliknya, bila dilihat lembaga pemasyarakatan dalam keadaan penuh, ini menunjukkan tingginya kasus tindak pidana dan kriminalitas yang ditangani. Selain itu, keadaan lembaga pemasyarakatan yang penuh menandakan bahwa penegakan hukum belum menimbulkan efek jera dan memanusiakan manusia, serta negara belum mampu memberikan keamanan dan kenyamanan bagi warganya,”ungkapnya.
Lebih lanjut ST Burhanuddin berharap, sebagai penggagas penghentian penuntutan dengan keadilan restoratif yang sudah mendapatkan legitimasi di forum Internasional berupa efektivitas dan implementasi restorative justice sebagai role model penghentian perkara di luar pengadilan, agar kedepannya peraturan mengenai keadilan restoratif didorong menjadi undang-undang.
Komentar