Oleh : Eko Supriatno
REVISI Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) kembali mengundang perdebatan. Proses revisi yang digodok secara tertutup di balik pintu hotel mewah, jauh dari sorotan publik, memunculkan pertanyaan besar: Apakah kita sedang melangkah maju menuju demokrasi yang lebih matang, atau justru mundur ke era Dwifungsi TNI yang telah lama kita tinggalkan?
TNI, sebagai tentara rakyat, lahir dari rakyat dan untuk rakyat. Sejarah panjangnya sebagai “self-created army” membuktikan bahwa TNI adalah bagian tak terpisahkan dari perjuangan bangsa. Namun, di tengah upaya memperluas kewenangannya—mulai dari penanganan narkoba hingga pertahanan siber, serta penambahan jabatan sipil yang bisa diisi prajurit aktif—muncul kekhawatiran: Apakah ini bentuk modernisasi atau justru pengulangan sejarah kelam?
Dalam demokrasi, partisipasi publik adalah jantung dari setiap perubahan. Sayangnya, proses revisi UU TNI kali ini justru terkesan tertutup, terburu-buru, dan minim keterlibatan masyarakat. Padahal, TNI bukan milik segelintir elite. TNI adalah milik rakyat. Dan rakyat berhak tahu, berhak bicara, dan berhak dilibatkan.
Kewenangan Baru TNI: Perlukah?
Di tengah dinamika revisi UU TNI, salah satu poin yang paling mencolok adalah penambahan kewenangan TNI dalam operasi non-perang. Dari 14 tugas sebelumnya, kini TNI diusulkan memiliki 17 tugas, termasuk penanganan narkoba, pertahanan siber, dan pengelolaan perbatasan. Secara sekilas, ini terdengar seperti upaya memperkuat peran TNI dalam menghadapi tantangan modern. Namun, di balik niat baik tersebut, tersimpan sejumlah pertanyaan kritis yang perlu dijawab: Apakah penambahan kewenangan ini benar-benar diperlukan? Atau justru berpotensi menciptakan masalah baru?
Pertama, mari kita lihat konteksnya. TNI adalah institusi pertahanan yang dibentuk untuk melindungi kedaulatan negara dari ancaman militer. Namun, dalam revisi UU TNI ini, TNI diusulkan untuk terlibat dalam penanganan narkoba dan pertahanan siber—dua bidang yang secara teknis lebih cocok ditangani oleh institusi lain seperti Polri, Badan Narkotika Nasional (BNN), dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Meskipun dijelaskan bahwa TNI tidak akan terlibat dalam penegakan hukum terkait narkotika, batasan ini terasa kabur. Bagaimana TNI akan berperan tanpa tumpang tindih dengan institusi yang sudah ada?
Kedua, kapasitas teknis TNI dipertanyakan. Penanganan narkoba dan siber membutuhkan keahlian khusus yang mungkin tidak dimiliki oleh prajurit TNI. Narkoba, misalnya, bukan sekadar masalah keamanan, tetapi juga masalah kesehatan, sosial, dan hukum. Sementara itu, pertahanan siber memerlukan pemahaman mendalam tentang teknologi informasi, keamanan data, dan jaringan digital. Apakah TNI sudah siap secara sumber daya manusia dan infrastruktur untuk mengambil peran ini? Atau justru penambahan kewenangan ini akan menjadi beban baru yang mengurangi fokus TNI pada tugas utamanya?
Ketiga, potensi konflik kewenangan. Dengan penambahan tugas ini, TNI bisa saja tumpang tindih dengan Polri, BNN, dan BSSN. Misalnya, siapa yang akan menjadi leading sector dalam penanganan narkoba? Apakah TNI hanya akan menjadi “tukang pukul” tanpa memiliki otoritas penegakan hukum? Atau justru akan terjadi dualisme kebijakan yang malah memperlambat penanganan masalah? Hal yang sama berlaku untuk pertahanan siber. Tanpa koordinasi yang jelas, penambahan kewenangan ini justru bisa menciptakan kekacauan alih-alih solusi.
Lalu, pertanyaan besarnya: Perlukah TNI mengambil peran ini?
Jika kita melihat dari perspektif demokrasi, militer seharusnya fokus pada tugas pertahanan dan keamanan negara, sementara urusan sipil seperti narkoba dan siber sebaiknya ditangani oleh institusi sipil yang lebih kompeten. Penambahan kewenangan TNI dalam bidang non-militer berpotensi mengaburkan batas antara militer dan sipil, yang pada akhirnya bisa mengarah pada kembalinya praktik Dwifungsi TNI—sesuatu yang sudah kita tinggalkan sejak era reformasi.
Namun, di sisi lain, kita juga tidak bisa menutup mata pada kompleksitas tantangan keamanan modern. Ancaman siber, misalnya, bisa memiliki dimensi pertahanan yang memerlukan keterlibatan TNI. Begitu pula dengan narkoba, yang sering kali melibatkan jaringan internasional dan ancaman terhadap keamanan nasional. Pertanyaannya adalah: Bagaimana menyeimbangkan kebutuhan ini tanpa mengorbankan prinsip demokrasi dan supremasi sipil?
Mungkin jawabannya terletak pada koordinasi yang lebih baik antar-institusi. Alih-alih memperluas kewenangan TNI, pemerintah bisa memperkuat kolaborasi antara TNI, Polri, BNN, dan BSSN. Setiap institusi memiliki peran dan keahliannya masing-masing, dan sinergi di antara mereka akan jauh lebih efektif daripada saling tumpang tindih.
Pada akhirnya, penambahan kewenangan TNI bukan sekadar masalah teknis, tetapi juga filosofis. Ini tentang bagaimana kita memandang peran militer dalam demokrasi. Apakah kita ingin TNI tetap menjadi tentara rakyat yang profesional dan fokus pada pertahanan, atau kita ingin melihatnya kembali terjun ke ranah sipil dengan segala risikonya?
Prajurit Aktif di Jabatan Sipil: Langkah Mundur?
Revisi UU TNI tidak hanya memperluas kewenangan TNI, tetapi juga membuka pintu bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan sipil di 16 lembaga negara. Dari sebelumnya hanya 10, kini lembaga seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kejaksaan Agung, dan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) masuk dalam daftar. Meski diatur bahwa prajurit aktif harus mengundurkan diri jika ingin menjabat di luar 16 lembaga tersebut, pertanyaan besar tetap menggelayut: Apakah ini langkah maju, atau justru pengulangan sejarah kelam Dwifungsi TNI?
Dwifungsi TNI, yang menjadi ciri khas era Orde Baru, adalah masa di mana militer tidak hanya berperan sebagai penjaga keamanan, tetapi juga aktif dalam politik dan pemerintahan. Praktik ini melahirkan intervensi militer yang masif, mulai dari tingkat desa hingga pusat. TNI menjadi alat kekuasaan yang efektif bagi rezim, tetapi di sisi lain, ia juga menjadi sumber ketidakadilan, pelanggaran HAM, dan ketidakseimbangan dalam tata kelola negara. Reformasi 1998 memutus rantai ini, membawa TNI kembali ke khittah-nya sebagai tentara rakyat yang profesional dan berada di bawah supremasi sipil.
Namun, revisi UU TNI kali ini seolah membawa bayang-bayang masa lalu. Dengan memperluas jabatan sipil yang bisa diisi prajurit aktif, kita berisiko mengaburkan batas antara militer dan sipil. Pertanyaannya: Apakah ini yang kita inginkan? Apakah kita siap melihat TNI kembali masuk ke ranah-ranah yang seharusnya menjadi domain sipil?. Mari kita lihat lebih dalam.
Pertama, potensi intervensi militer dalam politik dan pemerintahan. Ketika prajurit aktif menduduki jabatan sipil, terutama di lembaga strategis seperti Kejaksaan Agung atau BNPT, ada risiko bahwa keputusan yang diambil akan dipengaruhi oleh logika militer, bukan logika sipil. Padahal, demokrasi mensyaratkan bahwa militer harus netral dan tidak terlibat dalam politik. Jika prajurit aktif bisa menjabat di lembaga-lembaga kunci, bagaimana kita bisa memastikan bahwa mereka tidak akan menggunakan posisinya untuk kepentingan tertentu?
Kedua, efektivitas dan profesionalisme. TNI adalah institusi yang dibentuk untuk pertahanan dan keamanan negara. Sementara itu, lembaga sipil seperti BNPB atau BNPP membutuhkan keahlian khusus yang mungkin tidak dimiliki oleh prajurit TNI.
Misalnya, penanggulangan bencana memerlukan pendekatan holistik yang melibatkan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Apakah prajurit TNI memiliki kapasitas untuk itu? Atau justru penempatan mereka di lembaga-lembaga ini akan mengurangi efektivitas kerja lembaga tersebut?
Ketiga, ancaman terhadap supremasi sipil. Salah satu prinsip dasar demokrasi adalah bahwa militer harus berada di bawah kendali sipil. Dengan memperluas jabatan sipil yang bisa diisi prajurit aktif, kita berisiko mengikis prinsip ini. Jika TNI bisa menduduki posisi-posisi strategis di lembaga sipil, bagaimana kita bisa memastikan bahwa mereka tetap berada di bawah kendali pemerintah yang dipilih oleh rakyat?
Lalu, pertanyaan besarnya: Apakah ini langkah mundur?
Jika kita melihat dari perspektif sejarah, jawabannya cenderung ya. Dwifungsi TNI adalah masa yang penuh dengan kontroversi dan pelanggaran. Reformasi 1998 membawa angin segar dengan mengembalikan TNI ke barak dan memastikan bahwa militer tidak lagi terlibat dalam politik dan pemerintahan. Namun, revisi UU TNI ini seolah membuka pintu bagi kembalinya praktik-praktik lama.
Tentu, ada argumen yang mendukung perluasan ini. Misalnya, di daerah perbatasan atau dalam penanganan terorisme, kehadiran TNI mungkin dianggap perlu karena kapasitas mereka dalam hal keamanan. Namun, perlu diingat bahwa kehadiran TNI di ranah sipil haruslah bersifat sementara, terbatas, dan diawasi secara ketat. Bukan justru dilegalkan melalui revisi UU yang berpotensi membuka pintu bagi intervensi militer yang lebih luas.
Pada akhirnya, ini bukan sekadar masalah teknis, tetapi juga filosofis. Ini tentang bagaimana kita memandang peran militer dalam demokrasi. Apakah kita ingin TNI tetap menjadi tentara rakyat yang profesional dan fokus pada pertahanan, atau kita ingin melihatnya kembali terjun ke ranah sipil dengan segala risikonya?
Proses Revisi yang Tertutup: Mengabaikan Partisipasi Publik
Di balik hiruk-pikuk revisi UU TNI, ada satu masalah mendasar yang tak bisa diabaikan: prosesnya yang tertutup dan terkesan terburu-buru. Pembahasan yang dilakukan di balik pintu hotel mewah, jauh dari sorotan publik, menimbulkan kesan bahwa revisi ini lebih mengutamakan kepentingan elite politik dan militer daripada kepentingan rakyat. Padahal, dalam demokrasi, partisipasi publik adalah jantung dari setiap kebijakan. Apalagi ketika kebijakan tersebut menyangkut institusi sepenting TNI—tentara rakyat yang seharusnya lahir dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Mari kita renungkan sejenak, Revisi UU TNI bukan sekadar perubahan regulasi biasa. Ini adalah kebijakan yang akan menentukan arah dan peran TNI dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Setiap kata, setiap pasal, dan setiap kewenangan yang ditambahkan atau dikurangi akan memiliki dampak jangka panjang. Oleh karena itu, proses revisi seharusnya dilakukan dengan transparan, inklusif, dan melibatkan partisipasi publik seluas-luasnya.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Pembahasan revisi UU TNI dilakukan di hotel mewah, di ruang-ruang tertutup yang hanya dihadiri oleh segelintir elite. Tidak ada ruang bagi masyarakat sipil, akademisi, atau aktivis untuk menyampaikan pendapat. Tidak ada diskusi terbuka yang memungkinkan publik memahami dan memberikan masukan. Proses ini terkesan dipaksakan, seolah-olah ada agenda tersembunyi yang harus segera diselesaikan tanpa gangguan.
Pertanyaannya: Mengapa harus tertutup? Apa yang disembunyikan?
Dalam demokrasi, tidak ada ruang untuk kebijakan yang dibuat secara tertutup. Setiap kebijakan, apalagi yang menyangkut hajat hidup orang banyak, harus melalui proses yang transparan dan akuntabel. Partisipasi publik bukan hanya sekadar formalitas, tetapi merupakan hak dasar warga negara. Masyarakat berhak tahu, berhak bicara, dan berhak dilibatkan dalam setiap keputusan yang akan memengaruhi hidup mereka.
Proses yang tertutup hanya akan melahirkan regulasi yang lemah legitimasinya. Ketika sebuah kebijakan dibuat tanpa melibatkan publik, ia rentan disalahgunakan untuk kepentingan segelintir orang. Ia juga berpotensi menimbulkan resistensi dari masyarakat, karena dianggap tidak mewakili aspirasi mereka. Dalam konteks revisi UU TNI, proses yang tertutup ini justru menimbulkan kecurigaan: Apakah ada agenda tersembunyi di balik perluasan kewenangan TNI dan penambahan jabatan sipil yang bisa diisi prajurit aktif?
Padahal, sejarah telah mengajarkan kita bahwa partisipasi publik adalah kunci dari kebijakan yang baik dan berkelanjutan. Ketika masyarakat dilibatkan, kebijakan yang dihasilkan akan lebih komprehensif, tepat sasaran, dan memiliki legitimasi yang kuat. Sebaliknya, kebijakan yang dibuat secara tertutup hanya akan melahirkan ketidakpercayaan dan konflik.
Lalu, bagaimana seharusnya proses revisi UU TNI dilakukan?
Pertama, transparansi. Pemerintah dan DPR harus membuka ruang bagi publik untuk mengakses informasi tentang proses revisi. Setiap tahapan, dari perumusan hingga pengesahan, harus dilakukan secara terbuka dan dapat diakses oleh siapa saja.
Kedua, partisipasi publik. Diskusi terbuka harus digelar, melibatkan berbagai pihak, termasuk akademisi, aktivis, dan masyarakat sipil.
Pendapat dari mereka yang memiliki keahlian di bidang pertahanan, hukum, dan HAM harus didengar dan dipertimbangkan.
Ketiga, akuntabilitas. Setiap keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Tidak boleh ada kebijakan yang dibuat tanpa penjelasan yang jelas dan argumentasi yang kuat.
Pada akhirnya, revisi UU TNI bukan sekadar urusan pemerintah, DPR, atau TNI. Ini adalah urusan seluruh rakyat Indonesia. TNI adalah tentara rakyat, dan setiap perubahan yang menyangkut institusi ini harus melibatkan partisipasi rakyat. Proses yang tertutup hanya akan melahirkan kebijakan yang lemah dan rentan disalahgunakan.
Menuju UU TNI yang Lebih Baik
Revisi UU TNI adalah sebuah cermin. Ia memantulkan bagaimana kita, sebagai bangsa, memandang peran militer dalam demokrasi. Apakah kita ingin melihat TNI sebagai tentara rakyat yang profesional, modern, dan berada di bawah supremasi sipil? Atau kita justru membiarkannya terjebak dalam nostalgia masa lalu, di mana batas antara militer dan sipil begitu kabur, dan kekuasaan lebih penting daripada prinsip?
Dalam setiap langkah revisi ini, ada pilihan yang harus dibuat. Pilihan untuk transparansi atau ketertutupan. Pilihan untuk partisipasi publik atau keputusan sepihak. Pilihan untuk profesionalisme atau kembalinya Dwifungsi. Dan pilihan-pilihan ini tidak hanya menentukan masa depan TNI, tetapi juga masa depan demokrasi kita.
Mari kita berhenti sejenak dan bertanya: Apa yang sebenarnya kita butuhkan?
Kita membutuhkan TNI yang kuat, tetapi tidak dengan mengorbankan prinsip demokrasi. Kita membutuhkan TNI yang mampu menghadapi tantangan modern, tetapi tidak dengan menciptakan tumpang tindih kewenangan yang justru melemahkan efektivitas. Kita membutuhkan TNI yang tetap setia pada khittah-nya sebagai tentara rakyat, bukan sebagai alat kekuasaan.
Untuk mencapai itu, ada beberapa langkah konkret yang bisa diambil:
Pertama, Transparansi dan Partisipasi Publik: Pemerintah dan DPR harus membuka ruang diskusi yang luas. Pendapat dari akademisi, aktivis, dan masyarakat sipil harus didengar. Revisi UU TNI bukan milik segelintir elite, tetapi milik seluruh rakyat Indonesia.
Kedua, Menghindari Tumpang Tindih Kewenangan: Penambahan kewenangan TNI harus dilakukan dengan hati-hati. Fokus utama TNI harus tetap pada pertahanan negara, sementara urusan sipil seperti narkoba dan siber sebaiknya diserahkan kepada institusi yang lebih kompeten.
Ketiga, Menjaga Jarak dengan Politik: Prajurit aktif tidak seharusnya menjabat di lembaga sipil, apalagi yang bersifat strategis. Ini bukan hanya tentang menghindari konflik kepentingan, tetapi juga tentang menjaga integritas TNI sebagai institusi pertahanan.
Keempat, Proses yang Matang dan Tidak Terburu-buru: Revisi UU TNI adalah proses yang kompleks dan membutuhkan waktu. Tidak perlu terburu-buru hanya untuk memenuhi target politik. Proses yang matang akan melahirkan regulasi yang lebih baik, lebih solutif, dan lebih berlegitimasi.
Pada akhirnya, revisi UU TNI bukan sekadar tentang pasal-pasal dan kewenangan. Ini adalah tentang nilai-nilai yang kita junjung sebagai bangsa. Nilai-nilai demokrasi, supremasi sipil, dan keadilan. Nilai-nilai yang mengingatkan kita bahwa TNI adalah tentara rakyat, lahir dari rakyat, dan untuk rakyat.
Ya, kesediaan kita untuk terbuka, untuk mendengar, dan untuk melibatkan. Dari keberanian kita untuk memilih jalan yang benar, meski itu tidak selalu mudah.
Mari kita jaga semangat reformasi dan demokrasi. Mari kita pastikan bahwa revisi UU TNI ini bukan langkah mundur, tetapi langkah maju menuju TNI yang lebih profesional, lebih terpercaya, dan lebih dekat dengan rakyat.
Hidup TNI! Hidup rakyat Indonesia!***
Penulis, Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Mathla’ul Anwar (BRIMA), Pengurus Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Organisasi Wilayah (Orwil) Banten, dan Dosen Universitas Mathla’ul Anwar Banten.*
Komentar