Oleh : Efi Syarifudin
Bulan Ramadhan yang damai, tiba-tiba menjadi tercoreng karena adanya kekerasan bank keliling terhadap seorang ustadz di Kabupaten Pandeglang pada awal April 20204 ini. Problem kredit mikro selalu saja menjadi persoalan pelik. Baik itu kredit mikro yang ditawarkan secara keliling hingga kredit mikro melalui daring alias pinjol, punya cerita buruk yang perlu perhatian. Sehingga pemegang kebijakan perlu memperhatikan secara seksama, dari mulai edukasi keuangan hingga regulasi yang sepertinya perlu dievaluasi.
Kredit mikro sampai kapan pun akan tetap menjadi primadona di kalangan masyarakat pendapatan rendah. Selain karena kemudahan aksesnya, juga tidak mempersoalkan kelayakan kredit sebagaimana standar perbankan yang rigid. Padahal di balik kemudahan dan minimnya analisa kelayanakan, terdapat resiko yang sangat tinggi jika terjadi gagal bayar. Namun, keperluan keuangan yang mendesak seringkali mengalahkan pertibangan risiko dan kemampuan bayarnya.
Dari sisi kesadaran finansial, masyarakat di Banten masih tergolong rendah jika dilihat dari indeks literasi keuangannya. Berdasarkan survey nasional indek literasi keuangan (SNILK) OJK 2022, masyarakat banten masih rendah di kisaran 45,19% di bawah nilai literasi nasional 49,68%. Untuk kasus Pandeglang, inklusi keuangan juga masih perlu perhatian. Jika dibandingkan daerah lain di Banten, sepertinya jumlah kantor layanan jasa keuangan di Pandeglang termasuk rendah dibanding wilayah lainnya di Banten.
Literasi keuangan yang rendah tentu dapat berdampak buruk bagi ekonomi keluarga. Selain ketidakmampuan mengelola finansial secara sehat melalui menabung dan perencanaan keuangan, juga ketidakmampuan untuk mengakses jasa keuangan formal. Bukan hanya disebabkan rendahnya pendapatan, literasi yang rendah bisa melahirkan budaya finansial yang kurang sehat. Kelompok rendah literasi ini, merupakan target utama para penyedia jasa kredit mikro dengan segala kemudahan dan kecepatannya, walau dengan biaya kredit yang tinggi. Bahkan karena rendahnya literasi keuangan, banyak masyarakat yang terjebak investasi bodong, pinjol illegal dan penyimpangan jasa keuangan lainnya.
Selain persoalan literasi, dualisme kelembagaan jasa keuangan mikro juga perlu menjadi perhatian. Di bandingkan Lembaga Keuangan Mikro yang berada di bawah otoritas OJK, para pengusaha kredit mikro (money-lender) lebih menyukai kelembagaan koperasi simpan pinjam (kosipa) di bawah dinas koperasi yang lebih leluasa dari sisi perizinan dan operasional. Terlebih pasca terbitnya UU omnibus law yang memudahkan perizinan koperasi bisa menjadi beban bagi maraknya shadow banking di sektor mikro. Jika tanpa pengawasan yang memadai, mikro banking yang tidak sehat bisa menjadi beban bagi stabilitas sosial dan ekonomi.
Dapat dikatakan bahwa selama ini koperasi simpan pinjam kerap menjadi tameng kelembagaan dari peminjam uang (rentenir) untuk memformalkan dirinya. Jika ditelaah, bisa jadi banyak KOSIPA yang struktur dan mekanismenya adalah ala korporasi keuangan dan jauh dari prinsip dasar koperasi. Hubungan anggota dengan koperasi yang seharusnya berdasarkan kolektivitas dan kekeluargaan, menjadi sekedar hubungan debitur dengan kreditur. Hal ini tentu saja merugikan bagi citra koperasi yang merupakan soko guru perekonomian Indonesia.
Dari sisi paradoks miskin dan kaya, mencari keuntungan dari kredit masyarakat berpendapatan rendah bukan lah hal mudah. Bisnis kredit mikro akan terus dihadang persoalan dilematis. Paradoksnya sederhana tapi kompleks, Dimana masyarakat berpendapatan rendah mengakses kredit dengan bunga yang tinggi. Dari sisi ini, usaha mikro dan masyarakat berpendapatan rendah merupakan kelompok yang harus membayar mahal jasa keuangan untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan kata lain, orang miskin biaya kreditnya jauh lebih mahal dari orang kaya. Orang miskin memberi keuntungan finansial yang tidak sedikit kepada pemilik uang yang memberikan pinjaman kepadanya.
Jika demikian, pantaslah jika ajaran Islam melarang pinjam meminjam dijadikan transaksi komersial. Dalam kaidah fiqh, setiap pinjaman yang dikomersialisasikan adalah riba. Sementara dosa riba dikatakan lebih besar dari dosa berzina dengan ibu kandung. Komersialisasi jasa keuangan bisa dibenarkan jika skema yang dipilih melalui skema bagi hasil, jual beli atau jasa yang produktif, tapi bukan dari pinjam meminjam. Hal ini agar menempatkan transaksi pinjam meminjam tetap pada tempatnya di skema sosial. Terutama pada kelompok berpendapatan rendah dan kelompok ekonomi lemah.
Kembali ke kredit mikro di masyarakat, kita semua perlu menghidupkan skema lembaga keuangan sosial yang mampu memberikan akses keuangan formal dengan biaya rendah kepada masyarakat. Bahkan jika perlu melibatkan lembaga sosial untuk menangani kredit mikro pada kelompok rentan ekonomi. Sehingga bisa dipisahkan mana ranah komersil dan mana ranah sosial.
Kita tentu mengapresiasi pemerintah selama ini telah turun tangan melalui berbagai program kredit ultramikro dan kredit berbasis kelompok mikro. Namun program ini perlu didampingi oleh edukasi untuk merubah budaya finansial. Karenan faktor budaya finansial yang disebabkan rendahnya literasi keuangan, membuat program kredit mikro belum berjalan secara ideal. Terlebih jika kredit tidak menjadi aset usaha, tapi menjadi beban yang tidak diiringi oleh kenaikan pendapatan masyarakat melalui dana yang disalurkan.
Program kredit bebasis sosial melalui lembaga zakat dan komunitas telah lama dilaksanakan oleh LAZ HARFA di wilayah Pandeglang beriringan dengan program Desa Harapan yang menjadi unggulannya. Termasuk program Kampung Bebas Rentenir yang dikembangkan oleh Rumah Pemerdayaan Masyarakat di Tangerang. Program sosial ini masih terbatas dan perlu mendapatkan dukungan besar dari berbagai lembaga dan masyarakat agar bisa menjadi alternatif bagi kredit mikro yang mudah dan murah bagi kelompok ekonomi lemah.
Akhirnya, dari kasus Pandeglang kita bisa melihat betapa persoalan keuangan mikro bisa beralih ke persoalan kerentanan sosial. Sebab riba memang dipercaya dapat mencerabut keberkahan ekonomi. Sebab itu, sinergi lembaga tak boleh berhenti dalam mengedukasi untuk peningkatan literasi dan menguatkan budaya finansial jangka panjang. Selain itu akses keuangan formal di berbagai wilayah perlu terus dihadirkan. Sementara jangka pendek di bulan Ramadhan ini, kita diminta aktif berbagi agar beban ekonomi bisa terkurangi. Supaya menghadapi lebaran nanti, tidak perlu sampai terjebak pinjol illegal dan kredit bank keliling lagi.*
(Penulis adalah Wakil Direktur Jasa Keuangan Syariah KDEKS Banten)
Komentar